Petani seringkali menderita kerugian akibat gagal panen karena kekeringan ataupun kebanjiran. Seperti di Kabupaten Kerawang, tercatat sekitar 13 ribu ha lahan mengalami puso dan gagal panen akibat kekeringan dan sekitar 25 ribu ha gagal panen akibat kebanjiran (Kompas, 22 Februari 2004).
Di sisi lain, baru-baru ini seringkali juga terdengar air waduk mengalami penyusutan, akibatnya kebutuhan tenaga listrik dan kebutuhan air untuk pengairan sawah agak terhambat. Pokok permasalahan adalah kenapa kejadian ini selalu berulang, tanpa ada upaya belajar dengan fenomena (data) masa lalu. Salah satu upaya untuk mengatasi ini adalah memperbaiki manajemen air yang sangat tergantung pada kondisi curah hujan (iklim).
Fenomena alam di atas sulit untuk dikendalikan dan dimodifikasi, kecuali dalam skala kecil. Agar fenomena iklim dapat dioptimalkan maka informasi tentang kondisi iklim terutama peluang kejadian iklim ekstrim (kemarau panjang dan kebanjiran) dan peramalan (prediksi) kondisi iklim yang akan datang perlu diketahui sedini mungkin. Upaya ini bertujuan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak yang ditimbulkan adanya iklim ekstrim tersebut.
Kegiatan peramalan cuaca dan iklim sudah ada sejak kerajaan Hindu, khususnya di Pulau Jawa yaitu berupa “pranata mangsa”, yang seringkali disebut prakiraan tradisional. Petani menggunakan tanda-tanda fenomena alam atau yang seringkali disebut gejala-gejala alam dalam memprakirakan kapan musim hujan mulai, kapan musim hujan berhenti. Kemarau panjang pun dapat diketahui dengan indikator pranata mangsa. Tumbuhnya batang umbi gadung (Dioscorea hispide Dennst) sebagai contoh, merupakan indikator kurang lebih 50 hari ke depan musim hujan mulai. Berbunyinya tonggeret (Tibicen Sp) merupakan indikator musim kemarau sudah dekat. Masyarakat Sulawesi Selatan dan Lombok Selatan juga mempunyai indikator terjadinya kemarau panjang. Sayangnya penggunaan pranata mangsa saat ini mulai ditinggalkan oleh petani.
Pranata mangsa merupakan cara tradisional masyarakat Jawa dalam memprediksi cuaca dan iklim sudah ada sejak dulu, yang berdasar pada kejadian-kejadian alam, sehingga pengguna cara ini harus “ingat” ( dalam bahasa Jawa: titen), kapan harus menanam dan memanen. Tingkat akurasi prediksi tradisional saat ini seringkali bias, seiring dengan hilangnya beberapa indikator alam akibat kerusakan alam. Penggunaan metode tradisional mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Sebagian orang masih menggunakan metode ini hanya sebagai primbon dan nuansa “klenik” lebih dominan.
Prediksi cuaca dan iklim tradisional
Selama ribuan tahun mereka menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya, akhirnya nenek moyang kita membuat kalender tahunan bukan berdasarkan kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut.
Masyarakat Jawa dan Bali menyebutnya Pranata Mangsa (Sunda), Pranoto Mongso (Jawa) dan Kerta Masa (Bali). Pranata Mangsa dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam atau melaut sebagai nelayan, merantau mungkin juga berperang. Sehingga mereka dapat mengurangi risiko dan mencegah biaya produksi tinggi.
“Pranata mangsa” berasal dari bahasa Jawa, “pranata” yang berarti tatacara atau prosedur, sedangkan “mangsa” berarti musim. Pada masa Kerajaan Mataram, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa dengan merubah sistem perhitungan tahun Saka yang berdasar peredaran semu matahari terhadap bumi dengan peredaran bulan terhadap bumi, seperti tahun Hijriyah, tetapi angka tahunnya melanjutkan angka tahun Saka. Sultan Agung berhasil memadukan metode perhitungan kalender Islam dan Jawa (Hindu). Kalender Jawa tersebut berisikan pawukon dan pranata mangsa.
Pawukon menyangkut perwatakan manusia, hari-hari baik untuk berdagang, usaha, mantu (hari pernikahan), boyongan (pindah rumah), kapan melakukan tirakat juga hari-hari pantangan atau walang sanger, taliwangke, samparwangke, sarik agung, dhendhan kukudan, dan lain sebagainya. Pranata mangsa dipergunakan untuk menentukan mulai tandur (menanam padi), menuai padi, dan menanam palawija.
Pranata mangsa meliputi pembagian musim (mangsa) dan jumlah hari, aktifitas (kegiatan) petani, ciri – ciri yang nampak (tanda-tanda alam) pada masing-masing mangsa. Dalam siklus 365 hari dibagi menjadi duabelas musim (seasons) atau dalam bahasa Jawa “mangsa” dengan panjang hari yang berbeda-beda, Kasa (kesatu): 41 hari (23 Juni – 2 Agustus), Karo (kedua): 23 hari (3 Agustus-26 Agustus), hingga musim Sadha (keduabelas): 41 hari (14 Mei-22 Juni) (lingkaran ketiga).
Gambar Pranata Mangsa
Keduabelas musim ini kemudian diklasifikasikan menjadi empat musim umum (lingkaran pertama) yaitu musim kemarau (88 hari), labuh (peralihan pertama : 95 hari), penghujan (94/95 hari), dan musim mareng (peralihan kedua: 88 hari). Aktifitas petani (lingkaran kedua) untuk setiap mangsa berputar berlawanan arah dengan jarum jam mulai mangsa pertama/kasa dengan aktifitas penanaman palawija di sawah, bulan kedua/karo pertumbuhan palawija hingga mangsa keduabelas/sadha dengan aktifitas panen padi sawah dan padi ladang. Di samping aktifitas petani, pranata mangsa juga memberikan ciri atau fenomena alam yang terjadi untuk setiap mangsa, misal mangsa pertama (22 Juni – 2 Agustus), fenomena alam yang terjadi adalah angin dari timur laut ke barat daya, suhu tinggi, mata air mengecil, daun gugur dan pohon gundul, belalang dan serangga bertelur.
Dengan pranata mangsa petani dapat merencanakan kapan mulai tanam dan menuai hasil, seperti penanaman padi di sawah dapat dilakukan pada mangsa kanem dan kapitu yaitu jatuh pada 10 Nopember – 3 Februari. Pada mangsa itu ditandai dengan angin dari barat ke timur, kencang, hawa basah, dingin, banyak hujan, rambutan, durian, manggis mulai masak terutama pada mangsa kanem, sedang mangsa kapitu ditandai dengan angin dari barat, hawa basah, dingin dan banyak hujan, sering banjir, burung susah cari makan. Panen padi sawah diperkirakan akan jatuh pada mangsa kasapuluh, dhestal dan sadha. Fenomena alam yang terjadi adalah angin berhembus dari tenggara, kuat dan tetap, hujan sedikit, burung membuat sarang, suhu panas, tanaman berumbi menua dan burung mengeram.
Pranata mangsa tersebut meliputi mangsa (musim), dina tumapaking mangsa (hari memulai musim), panjang hari, dan ciri – ciri musim (candraning mangsa).
Pranata Mangsa selama setahun :
- Kasa (Kahiji) 22/23 Juni - 2/3 Agustus. Musim tanam palawija.
- Karo (Kadua) 2/3 Agustus - 25/26 Agustus. Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.
- Katiga (Katilu) 25/26 Agustus - 18/19 September. Musim ubi-ubian bertunas, panen palawija.
- Kapat (Kaopat) 18/19 September - 13/14 Oktober. Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang.
- Kalima (Kalima), 13/14 Oktober - 9/10 November. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
- Kanem (Kagenep) 9/10 November - 22/23 Desember. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.
- Kapitu (Katujuh) 22/23 Desember - 3/4 Pebruari. Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur.
- Kawolu (Kadalapan) 2/3 Februari. Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit.
- Kasonga (Kasalapan) 1/2 Maret - 26/27 Maret. Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.
- Kadasa (Kasapuluh) 26/27 Maret -19/20 April. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
- Desta (Kasabelas) 19/20 April - 12/13 Mei. Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
- Sada (Kaduabelas) 121/13 April- 22/23 Juni. Musim menumpuk jerami, tanda-tanda udara dingin di pagi hari.
Catatan: Sistem pertanaman padi masih setahun sekali (IP100)
Prediksi cuaca dan iklim tradisional bersifat lokal, seperti pranata mangsa hanya berlaku untuk masyarakat di Pulau Jawa. Demikian juga dengan cara tradisional lainnya seperti Palontara untuk masyarakat Sulawesi, Kala di Sunda, Porhalaan di Batak, Wariga di Bali. Sistem prakiraan tradisional itu umumnya masih digunakan petani lahan kering (tadah hujan), yang keberhasilan tanamannya sangat ditentukan oleh curah hujan. Saat ini, penggunaan cara tradisional, khususnya pranata mangsa sebagian masyarakat Jawa sudah banyak yang melupakan dan tidak mempergunakan lagi.
Di tengah pesatnya degradasi lingkungan dan lahan-lahan beralih fungsi, gejala alam yang sangat berguna bagi petani mulai susah dijadikan patokan. Sebagai ilustrasi sekarang ini, baru jam 21.00 saja ayam sudah berkokok, padahal dulu biasanya kokok ayam pertama sekitar pukul 00.00. Akibatnya, meskipun pranata mangsa ini masih digunakan, namun acapkali bias dan kurang adaptif, mengingat indikatornya ikut hilang, seiring dengan terjadinya degradasi lingkungan, dampak gas rumah kaca, dan panas global.
Prediksi Cuaca Modern
Pemanfaatan model prakiraan cuaca dengan teknik modern baru memiliki ketepatan sekitar 70 %, sedangkan untuk prakiraan iklim (musim) masih di bawah 50%. Selain itu, karena sifatnya yang masih umum dan bersifat makro, maka model prakiraan ini belum dapat dimanfaatkan untuk bidang-bidang yang lebih spesifik seperti pertanian, perikanan, pencegahan bencana kebakaran hutan, banjir atau kekeringan. Hal ini perlu dimaklumi adanya keterbatasan model-model prakiraan iklim dengan cara modern, karena model-model yang dihasilkan saat ini masih berasal dari ahli meteorologi di belahan bumi subtropis, sehingga diperlukan suatu validasi untuk penerapan di daerah tropis. Di samping itu data-data yang dibutuhkan dalam perancangan model prakiraan iklim seringkali tidak tersedia dan sumber daya manusia untuk penggembangan model masih sangat terbatas.
Adanya keterbatasan kedua cara tersebut di atas, maka upaya-upaya pengembangan model prakiraan cuaca dan iklim perlu dilakukan, khususnya dengan cara modern. Upaya pengembangan model tersebut meliputi teknik peramalan, perancangan model, maupun sumber daya manusianya. Upaya lain adalah memadukan cara tradisional (bersifat lokal) dan cara modern (bersifat global) dalam meramalkan cuaca dan iklim, sehingga bisa meningkatkan tingkat akurasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar